Judgment

https://www.pexels.com/id-id/foto/meja-juri-dengan-palu-dan-timbangan-5669619/

Awalnya, mimpi itu hanya datang sesekali, wajah-wajah tanpa bentuk memandangiku dari balik kegelapan, bisikan mereka memohon keadilan yang telah kurenggut. Aku terbangun dengan keringat dingin, tetapi cepat melupakan mimpi itu sebagai efek samping dari pekerjaan yang penuh tekanan.

Namun, mimpi itu mulai menjadi lebih jelas dan lebih sering. Setiap malam, aku berada di sebuah ruang sidang yang gelap. Di depanku berdiri meja hakim, tetapi bukan aku yang memutuskan. Sosok yang duduk di sana adalah bayangan, matanya merah menyala, dan di sekitarnya adalah wajah-wajah korban yang pernah kubebaskan. Mereka menatapku dengan mata penuh dendam, dan suara mereka serempak menuduh, “Kau akan membayar atas dosa-dosamu.

Aku mulai takut untuk tidur. Setiap kali mataku terpejam, mimpi itu kembali. Aku merasa mereka semakin nyata, seolah-olah bisa merasakan kehadiran mereka. Aku menghindari tidur sejauh mungkin, meminum kopi dan obat-obatan untuk tetap terjaga. Tapi tubuhku punya batas, dan akhirnya, aku harus menyerah pada kelelahan.

Suatu malam, mimpi itu berubah. Kali ini, mereka tidak hanya menatap. Mereka bergerak mendekatiku, tangan-tangan mereka dingin seperti es menyentuh kulitku, menarikku ke ruang sidang yang lebih gelap dan lebih dalam. Aku mencoba melarikan diri, tapi kakiku terasa seberat timah. Suara tawa mereka menggema, dan mereka terus berbisik, “Keadilan yang kau jual akan menghakimimu.

Aku terbangun dengan rasa tercekik, seolah-olah tangan-tangan itu masih melilit leherku. Keringat membasahi tubuhku, tapi yang terburuk adalah, mimpi itu mulai merembes ke dunia nyata. Aku melihat bayangan mereka di cermin, di sudut-sudut gelap rumahku. Aku mendengar langkah kaki di lorong, meskipun rumahku sepi. Kegelapan seakan hidup, selalu mengintai.

Hari demi hari, rasa takutku semakin parah. Aku mulai menghindari ruang sidang, alasan sakit kuhimpun untuk menjauh dari pekerjaan. Meskipun di siang hari, rasa takut itu mengikutiku. Aku merasa mereka selalu ada di belakangku, menunggu saat aku lengah. Setiap bayangan menjadi ancaman, setiap bisikan angin menjadi jeritan dari mimpi burukku.

Suatu malam, ketika aku akhirnya terjerembab dalam tidur yang tak terhindarkan, mimpi itu datang dengan kekuatan penuh. Kali ini, ruangan itu penuh dengan suara ratapan dan jeritan. Bayangan-bayangan itu merangkak keluar dari dinding, mendekatiku dengan mata yang bersinar penuh dendam. Aku berteriak, mencoba bangun, tapi tubuhku terkunci. Mereka menyeretku ke meja pengadilan, mengikatku di kursi.

Sosok hakim bayangan itu memandangku dari balik kegelapan. “Penghakimanmu telah tiba,” katanya, suaranya menggema hingga sumsum tulangku. “Keadilan yang kau jual kini akan menghakimimu. Ini mungkin akan menjadi mimpimu yang terakhir.”

Aku menjerit, merasa kegelapan menelanku. Rasa dingin menekan dadaku, dan aku merasa seolah-olah ditarik ke dalam kehampaan tanpa ujung. Dalam ketakutan yang memuncak, aku terbangun dengan nafas terengah-engah, namun sesuatu telah berubah.

Ruangan itu bukan lagi kamarku. Dindingnya berubah menjadi gelap dan lembab, penuh dengan bayangan yang bergerak. Aku melihat wajah-wajah itu lagi, tapi kali ini mereka tidak hanya menatap—mereka mendekat, mengulurkan tangan untuk mencengkeramku. Aku berusaha bangun, tapi kakiku tidak bisa bergerak. Kegelapan itu merayap naik, perlahan menutup penglihatanku.

Di saat-saat terakhir, aku menyadari bahwa ini bukan lagi mimpi. Aku tak bisa bangun, tak bisa melarikan diri. Tawa mereka, bisikan mereka, mengelilingiku, semakin keras, semakin nyata. Aku mencoba berteriak, tapi suaraku hilang dalam kegelapan. Dan sebelum semuanya menjadi gelap sepenuhnya, aku hanya bisa berpikir: “Mungkin ini akan menjadi mimpiku yang terakhir.”

Randomize People